Bagi seorang anak yang menderita gangguan komunikasi dan perhatian yang disebut sebagai Spektrum Gangguan Autisme (Autism Spectrum Disorder) kehidupan bisa menjadi kaleidoskop kacau dimana pikiran, pemandangan, dan suara bercampur aduk. Anak-anak ASD diperkirakan mencapai 5 persen dari semua anak di Indonesia atau lebih dari 2 juta anak – mungkin mustahil untuk duduk diam, fokus pada suatu tugas, atau bekerja sama dengan orang lain. Bahkan, yang paling mengganggu orang tua, mereka sering kesulitan menguasai bahkan ketrampilan-ketrampilan dasar seperti membaca dan berhitung. Terlepas dari kemungkinan kesalahan dalam penegakan diagnosa awal dan deteksi dini atau labeling yang keliru terhadap tumbuh kembang anak, kesulitan anak untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan lingkunganya, berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain pada kenyataanya semakin banyak jumlahnya.
Masalah timbul ketika harus memilih pendidikan untuk anaknya, setiap orang tua pastilah ingin yang terbaik. Pertanyaan seperti, “Bagusnya pilih sekolah yang mana ya ?” adalah yang paling banyak memenuhi otak orang tua. Sekolah terpadu dengan program inklusi (kebutuhan khusus) atau sekolah reguler ? Yang berasrama atau tidak ? Kurikulum sekolah nasional atau SLB ?
Ada sekolah inklusi dengan kurikulum khusus dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan dasar senso-motorik, kemampuan dasar bina diri dan sosialisasi. Umumnya anak gifted atau high functioning yang memerlukan penyaluran bakatlah yang mengikuti sekolah inklusi dengan Kelas Khusus ini.
Bagaimana kalau anak tersebut tidak mampu ikut serta dalam Kelas Khusus karena keterbatasanya, misalnya anak non-verbal, retardasi mental, masalah motorik, auditory, low functioning dan lain-lain?
Sebaiknya mereka diberi kesempatan ikut serta dalam Program Sekolah Di Rumah (Homeschooling Program). Melalui bimbingan para guru/terapis serta kerjasama yang baik dengan oarngtua dan orang-orang di sekitarnya, dapat dikembangkan potensi/strength anak.
Berdasarkan pengalaman penulis yang berkesempatan melakukan studi banding ke negara tetangga Singapura yang pemerintahnya menaruh perhatian sangat besar dalam pendidikan anak ASD ini,kerjasama guru dan orang tua ini merupakan cara terbaik untuk menggeneralisasi program dan membentuk hubungan yang positif antara keluarga dan masyarakat. Bila memungkinkan, dengan dukungan dan kerjasama antara guru dan terapis di rumah, anak-anak ini dapat diberi kesempatan untuk mendapat persamaan pendidikan yang setara dengan sekolah reguler / SLB untuk bidang yang ia kuasai.
Di lain pihak, perlu dukungan yang memadai untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya untuk dapat menghadapi kehidupan bersama seorang autistik.
Sejumlah lembaga pendidikan bagi anak autisme di Jakarta dan Bandung sudah menerapkan pola sekolah di rumah ini dengan mengembangkan sendiri kurikulum belajarnya berdasarkan pada pengalaman dan kondisi serta kebutuhan anak.
Walaupun sekolah rumahan,penting sekali untuk menetapkan materi apa yang akan diajarkan agar pengajaran dapat terfokus. Isi kurikulum seharusnya mencakup segala ketrampilan yang diperlukanindividu untuk berfungsi secara baik dalam masyarakat dan menikmati hidupnya (Leaf & McEachin, 1999). Untuk itu, orang tua dan terapis dapat mengacu pada kurikulum yang memang ditetapkan bagi penyandang autis dan sudah dikerjakan bertahun-tahun di negei maju. Beberapa kurikulum yang tepat guna antara lain yang terdapat dalam buku Behavioral Intervention for Young Children with Autism – Catherine Maurice, Work in Progress – Ron Leaf & John McEachin, Bridges – The Individualized Goal Selection Curriculum – Romanczyk, Locksin & Matey dan sebagainya.
Mengingat anak autisme memiliki kemampuan yang berdeferensiasi atau tidak semua anak dapat mempelajari materi sesuai tahapan yang diberikan, sehingga proses perkembangan dan tingkat pencapaian program pun tidak sama antara satu anak dengan anak lainya, kurikulum pun harus dapat dipilih, dimodifikasi dan dikembangkan oleh guru/pelatih/terapis dengan bertitik tolak pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing anak sesuai usianya serta memperhatikan sumberdaya/lingkungan yang ada.
Kesadaran akan kemampuan, kekurangan dan kelebihan setiap anak sebagai sesuatu yang sangat individual perlu dimiliki agar tidak terjerumus dalam pelaksanaanprogram yang tidak aplikatif bagi anak itu sendiri. Kaitkanlah selalu materi tersebut dengan masa depan anak : fungsionalkah? mempengaruhi penguasaan materi yang lain-kah?
Sehubungan denga penetapan program tersebut di atas, orang tua dan terapis sering begitu menggebu-gebu ingin mengejar ketinggalan anak autis yang dibimbingnya sehingga mengesampingkan kesiapan mental anak saat akan belajar. Padahal di dalam matei kurikulum tersebut sering sudah dicantumkan prasyarat apa yang harus dikuasai anak sebelum dapat diajarkan materi tersebut. Prasyarat ini menjadi sangat penting artinya karena akan memastikan keberhasilan anak saat belajar nantinya. Jangan sampai seorang anak diberi materi yang 80% akan gagal ia kuasai karena ia belum menguasai persyaratan sebelumnya.
Tentu saja materi tersebut perlu direvisi sejalan dengan perkembangan anak. Dalam kurikulum McLeaf ditampilkan pula ketrampilan bermain, bercakap-cakap, imajinasi/bercerita, kesadaran terhadap lingkungan sosial, matematika, belajar observasi, daya ingat dan sebagainya.
Dalam kurikulum Bridges, materi lebih dielaborasi lagi hingga ke detil yang sangat kecildengan target yang lebih tinggi. Kesimpulanya : orang tua dan terapis harus dapat menerapkan materi pengajaran dengan baik dan benar dan sesuai kemampuan anak saat itu. Pertemuan atau diskusi mengenai masalah berkala penting ditetapkan sesuai waktunya agar terjadi kesinambungan antara terapis pusat dengan terapis rumah, antara sekolah dan kegiatan terapi dan di antara anggota tim lainya. Kita harus bicara satu bahasa, demi anak.
Bagaimana pun rumitnya permasalahan anak autis, mereka masih dapat dididik dan masih dapat belajar. Berbeda dengan anak keterbelakangan mental yang sulit sekali untuk dibantu hidup mandiri karena pemahamanya terbatas.
Karena itu, syukurilah keadaan anak anda dan jadikanlah keadaan inisebagaicambuk untuk berusahalebih keras
(Penulis adalah pemerhati anak)